Terimakasih Atas Kunjungannya... Semoga bermanfaat

Pages

Tuesday, June 7, 2011

sejarah Airlangga



A.   ASAL-USUL AIRLANGGA
Nama Airlangga dapat diartikan "Air yang melompat". Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu,Bali dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan sampai ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Didalam prasasti Pucangan disebutkan bahwa Mpu Sindok mempunyai anak perempuan yang cantik yang memerintah sebagai ratu dengan nama Sri Isana Tunggawijaya. Ia bersuamikan raja Sri Lokapala. Kemudian Sri Isana Tunggawijaya dan suaminya Sri Lokapala mempunyai putri yang diberinama Gunapriyadharmmapatni yang juga sering dikenal sebagai Mahendradatta. Kemudian Mahendradatta kawin dengan Udayana seorang raja dari wangsa Warmadewa. Dari perkawinan tersebut kemudian melahirkan seorang putra yang tampan yang kemudian diberi nama Erlanggadewa. Jika dilihat dari keterangan dalam prasasti tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa memang Airlangga memenag merupakan keturunan dari Mpu Sindok.

B.   MASA PELARIAN AIRLANGGA
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Mengingat penyerangan Wurawari terjadi ketika sedang acara perkawinan Airlangga dengan putri Teguh, dapat diperkirakan bahwa mungkin sekali ia berambisi untuk mendampingi putri mahkota menggantikan Dharmawangsa Teguh diatas tahta kerajaan. Tetapi ternyata telah dipilih pangeran pati dari luar jawa, sekalipun masih keponakan raja sendiri. Serangan tersebut mungkin dimaksudkan sebagai bentuk kekecewaan Wurawari terhadap Dharmawangsa Teguh. Yang mungkin dapat memperkuat dugaan tersebut ialah kenyataan bahwa Wurawari tidak menduduki ibukota kerajaan Mataram, melainkan kembali ketempat asalnya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga dapat menyelamatkan diri dari serangan Wurawari dan masuk ke hutan dengan hanya diikuti hambanya yang bernama Narottama. Keterangan lebih terperinci terdapat dalam prasasti Pucangan pada bagian yang berbahasa jawa kuna. Dikatakan bahwa pada waktu terjadi serangan itu ia bbaru berusia 16 tahun, masih sangat muda dan belum banyak pengalaman dalam peperangan serta belum begitu mahir menggunakan senjata. Dalam pelariannya tersebut kemudian ia tinggal di hutan lereng pegunungan (wanagiri) bersama para petapa dan Narottama. Ia kemudian mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Maka pada tahun 941 Saka (1019) ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahma sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 941 Saka (1019) itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.

C.   MASA PEPERANGAN DAN PENAKLUKAN OLEH AIRLANGGA
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.
Pada prasasti puucangan terdapat keterangan tentang penyerangan-penyerangan raja atas musuh-musuhnya mulai tahun 951 Saka (1029) sampai tahun 959 Saka (1037). Pertama-tama Airlangga menyerang Wuratan dan mengalahkan rajanya yang bernama Wisnuprabhawa. Ternyata raja Wisnuprabhawa ini merupakan anak dari seorang raja yang ikut menyerang Dharmawangsa Teguh hingga terjadi pralaya. Tahun berikutnya 952 saka Airlangga mengalahkan raja Wengker yang bernama Panuda.  Dalam penyerangan tersebut Panuda lari meninggalkan keratonnya di Lewa dan terus dikejar ke desa Galuh. Dan pada tahun 953 Saka seluruh keratonnya dihancurkan tanpa sisa.
Pada tahun 954 saka tiba giliran raja Wurawari yang mendapat serangan Airlangga. Airlangga dengan diiringi oleh Rakryan kanuruhan Pu Narottama dan Rakryan Kunungan Pu Niti menyerbu dari Magehan. Dengan dikalahkannya Wurawari itu sebagai perwujudan balas dendam Wangsa Isyana maka lenyaplah segala hanitu di tanah Jawa.
Kemudian pada tahun 957 terjadi pemberontaka di Wengker ,wilaayah yang pernah ditakklukan Airlangga dan kemudian raja Wijayawarma melarikan diri meninggalkan keratonnya. Tetapi pada tahun 959 Saka dengan menggunakan taktik yang  diajarkan oleh Visnugupta, raja Wijayawarma berhasil ditangkap oleh rakyatnya sendiri, kemudian dibunuh.
Dengan terbunuhnya raja Wijayawarma dari Wengker itu, meka selesailah kampanye penaklukan raja Airlangga. Ia pun duduk disinggasana dan meletakkan kakinya di atas kepala musuh-musuhnya.
D.   MASA PEMBANGUNAN OLEH AIRLANGGA
Kerajaan yang baru yang dibangun oleh Airlangga berpusat di Kahuripan, Sidoarjo, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
E.   PEMBAGIAN KERAJAAN
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
F.    AKKHIR KEHIDUPAN AIRLANGGA
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

No comments:

Post a Comment